Kamis, 31 Mei 2012

PRINSIP DASAR PENULISAN JURALISTIK

TUGAS PENGANTAR JURNAL

                                                  PRINSIP DASAR PENULISAN JURALISTIK


                                                                                 OLEH
                                                                     AHMAD ALFIAN N.
                                                                            A1 D1 09 026

                                           FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
                                                                UNIVERSITAS HALUOLEO
                                                                             KENDARI
                                                                                  2011




KATA PENGANTAR
    Pertama-tama marila kita senantiasa memanjatkan puji syukur atas kehadirat Alla swt. karena atas segalah limpahan Rahmat dan karunia-Nya sehingga pada kesempatan ini penulis dapat menyelesaikan tugas yang diberikan yaitu menyelesaikan makalah tentang “Prinsip Dasar Penulisan Juranlistik”. Salawat serta salam juga penulis sampaikan kepada junjungan kita Nabi Muhammad saw. Sebaga tauladan dalam kesharian kita. Tentunya dalam penulisan makalah ini penulis banyak mendapatkan bantuan baik berupa moril maupun reverensi-reverensi yang mendukung penulisan makalah ini. Ucapan terimahkasih kepada orang tua penulis yang telah mengirimkan doanya kepada penulis. Kepada dosen matakuliah Pengantar Jurnal yang telah memberikan tugas ini untuk menambah pengetahuan penulis. Juag tak lupa penulis sampaikan kepada teman-teman yang banyak memberikan motifasi kepada penulis ataup[un dorongna untuk tetap menyelesaikan makalah ini. Penulis yakin dan percaya dalam penulisan makalah ini masih banyak terdapat kesalahan ataupun kekurangan karena penulis terbatas kemampuan dalam merai kesempurnaan penulisan makalah ini.

Kendari Desember 2011

Penyusun





DAFTAR ISI
KATA PENGANTA R.....................................................................................
DAFTAR ISI.....................................................................................................
I.    PENDAHULUAN................................................................................
A.    LATAR BELAKANG....................................................................
B.    MASALAH.....................................................................................
C.    TUJUAN ........................................................................................
D.    MANFAAT.....................................................................................
II.    PEMBAHASAN...................................................................................
ISI.........................................................................................................
III.    PENUTUP............................................................................................
A.    KESIMPULAN.............................................................................
B.    SARAN.........................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................








PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG

Istilah jurnalisme sastra adalah salah satu dari sekian banyak nama buat genre tertentu dalam jurnalisme. Wartawan Amerika Tom Wolfe pada 1974 memperkenalkannya dengan nama “jurnalisme baru.” Ada juga yang memakai nama “narrative reporting”. Ada juga yang pakai nama “passionate journalism.” Tapi ada yang secara sederhana mengatakannya “tulisan panjang.”
Tapi intinya, genre ini menukik lebih dalam daripada apa yang kita kenal sebagai “in-depth reporting.” Ia bukan saja melaporkan seseorang melakukan apa. Tapi ia masuk ke dalam psikologi yang bersangkutan dan menerangkan mengapa ia melakukan hal tersebut. Tulisannya biasanya panjang. Majalah The New Yorker bahkan pernah hanya menerbitkan laporan John Hersey berjudul “Hiroshima” dalam satu edisi majalah.
Wawancara untuk sebuah laporan bisa dilakukan dengan puluhan, bahkan ratusan, nara sumber. Risetnya juga tidak main-main. Waktu bekerjanya juga tidak seminggu atau dua. Tapi bisa berbulan-bulan. Di Indonesia, ada beberapa penulis yang punya kegemaran menulis panjang. Saya menikmati sekali buku Bondan Winarno, “Sebongkah Emas di Kaki Pelangi” atau artikel-artikel panjang George J. Aditjondro, misalnya, soal Arnold C. Ap, cendekiawan Papua yang mati ditembak tentara Indonesia pada April 1984. Atau kisah bertutur dengan ungkapan “saya” yang digunakan Goenawan Mohamad dalam laporan “Peristiwa `Manikebu’: Kesusastraan Indonesia dan Politik di tahun 1960-an.”
Memang reportase adalah bagian yang melekat dengan jurnalisme ini. Data-data diperoleh dari liputan di lapangan dengan tangguh. Menembus sumber dengan gigih. Pagi hingga malam. Riset yang makan keringat. Wawancara yang berjibun. Ia menukik tajam hingga mampu menterjemahkan, misalnya, sesosok kepribadian manusia dengan segala kerumitannya ke dalam kata-kata.
Bahasanya tidak harus mendayu-dayu. Bahasa bisa lugas. Dari segi struktur karangan, genre ini bentuknya model gelombang sinus. Naik turun. Liar. Tapi ia juga cantik dan memikat. Rasanya pembaca tidak bisa melepaskan karangan itu sebelum tuntas membaca.
Saya sering ditanya apakah karya Seno Gumira Ajidarma “Saksi Mata” masuk dalam kategori jurnalisme? Saya akui karya itu sangat memukau.Tapi karya itu adalah fiksi. Seno tidak menyampaikan fakta yang nyata. Nama-nama diganti. Tempat juga tidak disebutkan jelas. “Saksi Mata” adalah karya fiksi yang memakai data-data pembantaian Dili pada November 1991 sebagai ide cerita.
Ketika mendalami jurnalisme sastra di Amerika, saya selalu diberitahu adanya tujuh pertimbangan bagi seorang wartawan bila hendak membuat laporan dalam genre ini.
Fakta. Jurnalisme selalu mensakralkan fakta. Walaupun genre ini memakai kata “sastra” tapi ia tetap jurnalisme Setiap detail seyogyanya berupa kenyataan. Nama-nama orang adalah nama-nama sebenarnya. Tempat juga memang nyata. Kejadian benar-benar kejadian.
Apabila ada dua orang bertemu dan mengadakan pembicaraan. Seorang wartawan seyogyanya mengecek kepada keduanya apakah benar si A mengatakan ini dan si B mengatakan itu. Orang mungkin bisa lupa. Orang mungkin bisa berubah persepsi bersamaan dengan perjalanan waktu. Tapi minimal, esensi dari pembicaraan itu harus disetujui A dan B bila hendak dilaporkan dalam jurnalisme.
Kalau berbeda? Ada dua pilihan. Tidak dipakai sama sekali. Atau kalau pembicaraan itu penting, dilaporkan saja dari dua sudut yang berbeda. Si A bilang ini tapi si B bilang lain lagi. Tapi perbedaan bisa tidak terletak pada esensi. Biasanya ia terletak pada detail. Warna jas, warna dinding, bau minyak wangi, permukaan papan yang kasar atau jenis sepatu bisa diingat secara berbeda oleh orang yang berbeda. Tidak ada salahnya untuk pergi ke situs di mana suatu kejadian terlaksana, untuk mencatat detail di lapangan.
Konflik.
Sebuah tulisan panjang lebih mudah dipertahankan daya pikatnya bila ada konflik. Bila Anda berminat membuat laporan panjang, Anda seyogyanya berpikir berapa besar pertikaian yang ada? Mohamad bercerita soal konflik antara para penandatangan Manifes Kebudayaan dengan para pendukung Lekra.
Pertikaian ini termasuk besar. Ada polemik di surat kabar. Menteri ini bicara, tokoh partai itu membantah. Akhirnya, Mohamad dan para penandatangan Manikebu dikalahkan dan dilarang menulis. Tapi konflik bisa berupa pertikaian satu orang dengan orang lain. Ia juga bisa berupa pertikaian antar kelompok. Misalnya, upaya Arnold Ap mengembangkan kesenian Papua berbuntut ketegangan dengan pejabat militer dari Jawa yang dikirim ke Jayapura. Ap ditahan dan ditembak mati.
Konflik juga bisa berupa pertentangan seseorang dengan hati nuraninya. Konflik juga bisa berupa pertentangan seseorang dengan nilai-nilai di masyarakatnya. Pendek kata, pertikaian adalah unsur penting dalam suatu laporan panjang.
Karakter. Jurnalisme sastra mensyaratkan adanya karakter-karakter. Karakter membantu terikatnya suatu laporan. Ada karakter utama. Ada karakter pembantu. Karakter utama seyogyanya orang yang terlibat dalam pertikaian. Karakter utama seyogyanya juga kepribadian yang menarik. Tidak datar dan tidak menyerah dengan mudah (Orang yang mudah menyerah biasanya juga tidak mau dituliskan riwayatnya).
Winarno bicara soal beberapa karakter dalam buku “Sebongkah Emas di Kaki Pelangi.” Ada karakter geologis Michael de Guzman. Ada juga rekan-rekannya dari perusahaan Bre-X. Namun ada juga orang penting Indonesia macam Bob Hasan dan Siti Hardiyanti Rukmana.Winarno menganggap De Guzman, “meracuni” sample hasil pemboran sumur emas dan melakukan kejahatan untuk memperkaya diri sendiri.
 Winarno memperkirakan bahwa de Guzman masih hidup, tidak mati bunuh diri seperti diberitakan. Winarno melaporkan bahwa mayat yang diklaim sebagai mayat de Guzman tidak memiliki gigi palsu di rahang atasnya seperti dalam rekaman gigi de Guzman.
Mohamad menggunakan dirinya sendiri, lewat penggunaan kata “saya,” sebagai karakter untuk mengikat eseinya. Aditjondro tidak menggunakan kata saya sebanyak Mohamad.
 Anda seyogyanya punya akses kepada karakter utama atau orang-orang yang mengenal karakter utama. Akses bisa berupa dokumen, korespondensi, album foto, buku harian, wawancara dan sebagainya. Winarno tentu tidak memiliki akses terhadap De Guzman. Orang Filipino itu dinyatakan mati atau menyembunyikan diri. Winarno menengok makamnya, mencari dokumen dan mewawancarai orang yang mengenal De Guzman.
Namun Aditjondro berhubungan dengan almarhum Arnold Ap. Aditjondro mengenal Ap dengan dekat. Mohamad juga kenal dengan orang-orang yang menandatangani Manikebu maupun mereka yang melawannya. Saya sering mengibaratkan akses kepada karakter utama ini dengan akses yang dimiliki oleh seorang penulis biografi. Aksesnya luar biasa. Bisa masuk ke masalah-masalah pribadi karakter utama. Soal percintaan, soal skandal, soal kejahatan dan sebagainya.

Emosi. Jurnalisme sastra membutuhkan emosi dari karakter-karakternya. Emosi bisa berupa cinta. Bisa berupa pengkhianatan. Bisa berupa kebencian. Loyalitas. Kekaguman. Sikap menjilat. Oportunisme dan sebagainya. Emosi menjadikan cerita kita seakan-akan hidup.Emosi karakter juga bisa berubah-ubah bersama perjalanan waktu. Mulanya si karakter menghormati mentornya. Suatu kejadian besar menguji apakah ia perlu tetap menghormati mentornya atau tidak. Di sini mungkin ada pergulatan batin. Mungkin ada perdebatan intelektual. Ini seyogyanya memberikan ruang buat emosi. Apa emosi si karakter ketika tahu ia memenangkan pertarungannya? Apa perasaan si karakter ketika tahu ia dikhianati istri atau suaminya?
Perjalanan Waktu. Mungkin perbedaan antara jurnalisme sehari-hari dengan jurnalisme sastra adalah keterkaitannya dengan waktu. Saya mengibaratkan laporan suratkabar “hari ini” dengan sebuah potret. Snap shot. Sedangkan laporan panjang adalah sebuah film yang berputar. Video.
Robert Vare, mantan editor The New Yorker, menyebutnya “series of time.” Peristiwa berjalan bersama waktu. Ini memiliki konsekuensi penyusunan kerangka karangan. Mau bersifat kronologis, dari awal hingga akhir. Atau mau membuat flashback. Dari akhir mundur ke belakang? Atau kalau mau bolak-balik apa benang merahnya supaya pembaca tidak bingung?
Panjangnya waktu tergantung kebutuhan. Sebuah laporan tentang kehamilan bisa dibuat dalam kerangka waktu sembilan bulan. Tapi bisa juga dibuat dalam kerangka waktu dua tahun, tiga tahun dan sebagainya. Tapi bisa juga sekian menit ketika si ibu bergulat hidup dan mati di ruang operasi.
Ada unsur kebaruan yang harus Anda pertimbangkan bila hendak membuat laporan panjang. Tidak ada gunanya mengulang-ulang lagu lama. Kalau Anda hendak menulis cerita panjang soal pembunuhan G30S atau kerusuhan Mei 1998, sebaiknya berpikirlah dua atau tiga kali sebelum menjalankan ide ini.
Cukup banyak fakta yang sudah diungkap oleh orang lain soal G30S atau kerusuhan Mei 1998. Ini tidak berarti tidak ada yang masih tersembunyi. Saya percaya masih banyak hal yang belum terungkap dari dua peristiwa besar itu. Tapi bersiaplah untuk mencari fakta-fakta baru. Bersiaplah untuk menembus sumber-sumber yang paling sulit yang belum ditembus orang lain.
Mungkin lebih mudah mengungkapkan kebaruan itu dari kacamata orang-orang biasa yang menjadi saksi mata peristiwa besar. Hersey mewawancarai seorang dokter, seorang pendeta, seorang sekretaris dan seorang pastor Jerman, untuk merekonstruksi pemboman Hiroshima.Secara detail, Hersey menceritakan dahsyatnya bom itu. Ada kulit terkelupas, ada desas-desus soal bom rahasia, ada kematian yang menyeramkan, ada perasaan dendam, ada perasaan rendah diri. Semua campur aduk ketika Hersey merekamnya dan menjadikannya salah satu artikel termahsyur dalam sejarah jurnalisme Amerika. Hersey mempublikasikan karyanya setahun setelah bom nuklir dijatuhkan di Hiroshima.
Konon fisikawan nuklir Albert Eistein tidak bisa mendapatkan edisi The New Yorker pada Agustus 1946 tersebut. Einstein membaca laporan itu karena ia berlangganan. Tapi Eistein ingin membeli enam buah lagi buat teman-temannya. Tapi majalah itu laku habis. Einstein kehabisan.
Apa artinya? Sederhana saja. Einstein menemukan teori baru. Hersey juga menemukan sesuatu yang baru. Hersey menemukan sisi bengis dari bom nuklir!

B.    MASALAH

Apa yang menjadi prinsip dasar penulisan jurnalistik

C.    TUJUAN

Sehubungan dengan judul dan latar belakang yang telah dijelaskan diatas, maka tujuan dari makalah ini adalah
1.    Untuk mengetahui bagaimana prinsip dasar penulisan jurnalistik dan
2.    Untuk mengetahui kode etik jurnalis dalam menulis di media

D.    MANFAAT
Adapun tujuan penulisan makala ini adalah adalah sebagai berikut:
1.    Untuk mengetahui atau ketidak etisan prinsip penulisan juranlistik
2.    Untuk mengetahui jurnal dalam bahasa media













PEMBAHASAN
PRINSIP DASAR PENULISAN JURNALISTIK
Setiap mengenai publik, mulai dari gagasan, sampai pada naskah akhir merupakan hasil dari beberapa tingkat keputusan. Mantan wartawan Wall Street Journal Ronald buel berpendapat bahwa prinsip penulisan jurnalistik terbagi atas:
1.    Penugasan (dataassigment): yang menentukan apa yang diliput dan mengapa?
2.    Pengumpula(data collection): yan menentuka bila informasi ang dikumpulaitu cukup?
3.    Evaluasi (data evaluation): yang menentuka apayang penting untuk dimasuka dalam berita?
4.    Penulisan (data writing): yang menentukan kata-kata yang perlu digunakan?
5.    Penyuntingan (data editing): yang menentukan berita mana yang perlu diberikan judul yang besar dan dimuat dihalaman depan, tulisan mana yang perlu dipotong, berita man yang perlu diubah.
Media sering kali melakukan kesalahan dalam menyampaikan informasi, baik berupa berita maupun hiburan kepada khalayak. Kesalahan ini berujung pada pelanggaran moral, kode etik, dan bahkan pelanggaran hukum. Persoalan ini menjadi salah satu kecenderungan dari para pelaku media, baik perseorangan maupun dalam bentuk lembaga, untuk mempertahankan keberadaannya atau untuk merebut perhatian dari masyarakat.
Pelanggaran yang sering kita lihat, baik di media kaca maupun media cetak, berbentuk kesalahan-kesalahan kecil yang sering luput dari perhatian publik. Misalnya, ketidakjelasan antara iklan dan informasi berita yang disampaikan dalam TV. Ada beberapa stasiun televisi yang menyisipkan porpaganda iklan di dalam siaran beritanya, atau sebaliknya, iklan yang seolah-olah berpenampilan seperti berita dalam TV. Sementara itu, di media cetak, dapat kita temui beberapa tulisan pers yang kurang berimbang dalam penyampaiannya. Contoh yang paling gamblang dari perilaku media yang melanggar ketentuan-ketentuan dan kaidah-kaidah jurnalistik, serta ketentuan-ketentuan moral dan hukum yang berlaku, bisa kita lihat pada kasus Antasari. Salah satu staisun televisi, TV One, menyajikan berita yang kurang berimbang, karena hanya menyampaikan sudut pandang dari pihak polisi. Hal ini bertentangan dengan prinsip media yang harus dapat menyajikan informasi kepada publik yang berasal dari segala sudut pandang dan bersifat berimbang, sesuai dengan idiom cover both side. Tindakan seperti ini, melanggar pasal 3, Kode Etik Jurnalistik (2008), yang disusun oleh Dewan Pers, yaitu wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah (Maria Georetti, 2010). Contoh lainnya dapat kita lihat pada bentuk pelanggaran etika privasi yang dilakukan oleh media pers, seperti mencantumkan nama lengkap, identitas, dan foto dari subjek pelaku tindak pidana. Hal ini sempat terjadi ketika kasus Institut Pemerintahan Salam Negeri (IPDN) yang secara sensasional mencuat di media pers. Para pelaku media secara eksplisit mengekspos foto, nama dosen, dan mahasiswa yang terlibat dalam praktek penyimpangan yang terjadi di lingkungan lembaga pendidikan tersebut. Selain itu, media juga sering menyampaikan berita bohong, seperti penyajian hasil wawancara fiktif dari narasumber terkait terorisme, seperti yang terjadi di salah satu harian Surabaya, di mana wartawan mengaku telah melakukan wawancara dengan isteri Nurdin M. Top, padahal wawancara tersebut merupakan rekayasa si wartawan. Tindakan ini melanggar pasal 2 dan 4, Kode Etik Jurnalistik Indonesia (2008), yaitu kewajiban wartawan Indonesia untuk menempuh cara professional dalam melaksanakan tugas jurnalistik, dan tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis dan cabul (Maria Georetti, 2010).
Pelanggaran yang dilakukan oleh media tidak berhenti di titik itu saja. Terdapat juga indikasi bahwa media dengan sengaja menyajikan berita yang tidak utuh atau berita tertentu ke masyarakat karena pertimbangan kepentingan politis. Misalnya, pada saat kehebohan kasus lumpur Lapindo, stasiun TV One memiliki kecenderungan untuk meminimalisir ketertarikan dan kekritisan publik terhadap peristiwa tersebut, dengan minimnya penyampaian berita kesengsaraan yang dialami masyarakat Sidoarjo, dan lebih kepada pembelaan terhadap pihak Aburizal Bakrie. Hal ini dapat dipahami bahwa stasiun TV One sendiri merupakan milik PT Visi Asia Media, Tbk, yang merupakan kelompok usaha milik Bakrie & Brothers. Hal yang serupa terjadi pada stasiun Metro TV, yang ketika pada Pemilu 2009, menyajikan berita yang menguntungkan partai Golkar sebagai bentuk indikasi kampanye, karena pada saat itu, pemilik Metro TV, Surya Paloh, yang memimpin badan usaha Media Group, adalah anggota partai yang bersangkutan.
Pada media cetak, contoh pelanggaran moral, etika dan hukum media ini sering terjadi pada koran kuning. Koran tersebut lebih mengutamakan oplah, dengan strategi pemasaran berupa pemberitaan materi yang menonjolkan hal-hal berbau seks dan kriminal, sebagai sesuatu yang dianggap dapat memuaskan hasrat keingintahuan dasar manusia atau pembaca, yang kemudian berujung pada hilangnya kualitas dan keakuratan isi dari berita yang dimuat.
Berdasarkan contoh-contoh di atas, kita dapat membagi tiga kategori tipologi kausa terkait tentang pelanggaran dan penyimpangan yang sering dilakukan oleh media, yaitu media ignorance and recklessness (terkait kompetisi yang ketat dan ongkos produksi yang tinggi), political media (ambiguitas posisi media di ranah politik), dan media fraud and scam (terkait ambisi untuk memenangkan kompetisi dan posisi).
Penulis memiliki tanggapan dan pendapat bahwa pelanggaran dan penyimpangan yang dilakukan oleh media memang menjadi satu kenyataan dan tidak dapat dipungkiri. Dengan demikian, penulis berada di pihak yang menyetujui pembagian tiga tipologi kausa dari bentuk pelanggaran dan penyimpangan yang dilakukan oleh media tersebut.
Pendapat ini didasari atas keberadaan suatu lembaga yang tidak akan pernah lepas dari kepentingan atau latar belakang politis yang menaunginnya. Setiap organisasi, badan, kelompok atau lembaga yang berdiri memiliki tujuan-tujuan yang hendak dicapai berdasarkan kepentingan-kepentingan yang mereka miliki. Dalam situasi ini, antara lembaga yang satu dengan yang lain, terjadi semacam konflik kepentingan yang memicu mereka untuk melakukan apa saja, bahkan dengan melanggar norma masyarakat dan hukum yang berlaku, demi keuntungan.
Konflik kepentingan dapat dipahami sebagai situasi di mana individu maupun kelompok (organisasi, badan, lembaga, dan sebagainya) terlibat dalam kepentingan-kepentingan yang beragam, yang kemudian memungkinkan mereka untuk merusak tujuan awal yang baik untuk memenuhi kepentingan-kepentingan tersebut sehingga dapat berdampak terjadinya tindakan korupsi, manipulasi, dan penyimpangan lain yang memberikan keuntungan sepihak dan merugikan orang lain. Michael McDonald (2007) mendefinisikan konflik kepentingan sebagai,
“a situation in which a person, such as a public official, an employee, or a professional, has a private or personal interest sufficient to appear to influence the objective exercise of his or her official duties.” (Michael McDonald, 2007: 11)
Konflik kepentingan, dalam konteks pelaku media, selain dipengaruhi faktor keberadaan dan pertahanan posisi di mata publik,  juga disebabkan oleh faktor keuntungan materil berupa hasil produksi dan tujuan ideologi politik yang dianut oleh lembaga media tersebut. Kenyataannya, media tak ubahnya dengan pelaku industri yang mengutamakan keuntungan komersil yang mengejar oplah, pada media cetak (koran, majalah, dan sebagainya) dan rating, pada media kaca (stasiun TV). Media arus utama juga demikian, yang meskipun masih mendasarkan pada prinsip jurnalistik yang baik, tidak menghindarkan mereka pada kecenderungan untuk mendahulukan kepentingan-kepentingannya (seperti contoh kasus TV One dan Metro TV).
Fenomena pelanggaran terhadap moral, etika dan hukum yang sering dilakukan oleh media, harus ditanggapi dengan kritis melalui pengkajian dan pengoreksian melalui satu langkah penelitian. Dengan mengetahui immoralitas, ketidaketisan dan pelanggaran hukum oleh media, kita dapat memahmi persoalan moral, etika dan hukum terkait media itu sendiri. Pemahaman yang diraih dari pengkajian ini dapat menghantarkan kita pada satu langkah untuk melakukan perbaikan.
Menanggapi persoalan ini, penulis sendiri memiliki pendapat bahwa pentingnya langkah untuk merealisasikan gerakan produksi informasi sendiri oleh warga masyarakat lokal yang tidak bergantung pada penyajian materi oleh media arus utama yang telah banyak melakukan pelanggaran, baik di tataran moral, etika dan hukum. Pemberdayaan sistem jurnalisme warga menjadi satu keniscayaan, seperti yang telah dilakukan di beberapa daerah di belahan dunia. Melalui jurnalisme warga, masyarakat dapat memproduksi informasi berita dan hiburan dari perspektif warga masyarakatnya sendiri, lebih jujur dan objektif dalam memandang masalah lokal dan nasional, sehingga meminimalisir tindakan pelanggaran dalam aksi bermedia.
Bowman dan Willis menyatakan argumen bahwa kehadiran dari jurnalisme warga memiliki maksud untuk mengedepankan independensi, realibilitas, informasi akurat, relevansi dan luasnya sajian berita yang menuntut demokrasi (Bowman dan Willis, 2003). Hal ini hanya bisa dicapai tanpa adanya pengaruh konflik kepentingan dari media tersebut, dan oleh karenanya, keterlibatan masyarakat dalam produksi informasi sangat diperlukan dan bersifat penting. Hal ini telah dilakukan oleh beberapa media yang mendasarkan cara kerja jurnalisme warga, seperti akumassa.org dari Indonesia,  Pew Center For Civic Journalism  dan Oh My News  yang menggagas ide untuk memperbaiki konsep pemberitaan oleh media arus utama dengan melibatkan warga.
Bagaimana pun, konflik kepentingan tidak dapat dihindari ketika individu atau satu badan telah berdiri dan berjalan. Namun, mendayagunakan masyarakat dalam ranah kerja jurnalisme warga dapat menjadi salah satu pilihan alternatif dalam mengurangi pelanggaran moral, etika dan hukum terkait media yang disebabkan oleh konflik kepentingan tersebut.




PENUTUP
A.    KESIMPULAN

Penulis sendiri memiliki pendapat bahwa pentingnya langkah untuk merealisasikan gerakan produksi informasi sendiri oleh warga masyarakat lokal yang tidak bergantung pada penyajian materi oleh media arus utama yang telah banyak melakukan pelanggaran, baik di tataran moral, etika dan hukum. Pemberdayaan sistem jurnalisme warga menjadi satu keniscayaan, seperti yang telah dilakukan di beberapa daerah di belahan dunia. Melalui jurnalisme warga, masyarakat dapat memproduksi informasi berita dan hiburan dari perspektif warga masyarakatnya sendiri, lebih jujur dan objektif dalam memandang masalah lokal dan nasional, sehingga meminimalisir tindakan pelanggaran dalam aksi bermedia.

B.    SARAN

Hendaknya setiap wartawan harus memperhatikan kode etik jurnalistik dalam menginformasikan atau menyampaikan sebuah berita lewat media masa, baik lewat media elektronik maupun media cetak khususnya wartawan Indonesia hendaknya selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah. Ini sudah menjadi kewajiban wartawan Indonesia untuk menempuh cara professional dalam melaksanakan tugas jurnalistik, dan tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis dan cabul. Karena sesungguhnya Melalui jurnalisme warga masyarakat dapat memproduksi informasi berita dan hiburan dari perspektif warga masyarakatnya sendiri, lebih jujur dan objektif dalam memandang masalah lokal dan nasional, sehingga meminimalisir tindakan pelanggaran dalam aksi bermedia.


DAFTAR PUSTAKA
Bowman, S. and Willis, C. “We Media: How Audiences are Shaping the Future of News and Information.“2003, The Media Center at the American Press Institute.
Goretti, Maria. (2010). “Contoh Pelanggaran Terhadap Kode Etik Jurnalistik”. Diakses dari http://belajaretika.blogspot.com, 6 Oktober, 2011
McDonald, Michael. (2007). “Ethics and Conflict of Interest”. W. Maurice Young Centre for Applied Ethics.
Peraturan Dewan Pers, No. 06/Peraturan-DP/V/2008 Tentang Pengesahan Surat Keputusan Dewan Pers No. 03/SK-DP/III/2006 Tentang Kode Etik Jurnalistik Sebagai Peraturan Dewan Pers. Diakses dari http://www.dewanpers.org/upload/kej/7cc41713ba1b1 dc60f2f5f6421866712/attach/Peraturan_Dewan_Pers_No.6_tentang_Kode_Etik_Jurnalistik,_2008.pdf, 6 Oktober, 2011
Waspada Online (2007). “Banyak Media Pers Langgar Etika Privasi”. Diakses dari http://www.waspada.co.id/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=7990, 6 Oktober, 2011.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar